Daftar Isi
Pandemi FOMO (fear of missing out) sepertinya telah menjangkiti dunia game modern, menurut Mike Kayatta, direktur game dari Remedy yang sedang menggarap FBC: Firebreak. Beliau mendukung ide membuat game "yang menghormati waktu pemain dan tidak mencoba membebankan berlebihan." Fenomena ini terjadi seiring dengan dirilisnya sejumlah game baru-baru ini dengan harga di bawah ekspektasi yang sudah ada. Termasuk di antaranya adalah dua game paling diacungi jempol tahun ini, Split Fiction dan Clair Obscur: Expedition 33, yang telah terjual lebih dari 4 juta dan 2 juta kopi masing-masing sejauh ini.
Melawan Paradigma Lama, Menyapa Middle Ground
Kayatta terus berkomentar tentang booming industri game dengan begitu banyak game yang menghabiskan biaya hingga ratusan juta dolar hanya untuk dikembangkan. Di sisi lain, kita juga melihat banyak game indie yang sukses besar dengan budget yang jauh lebih terbatas. Namun, menurutnya, kini terdapat tren di tengah-tengah keduanya, sebuah middle ground yang baru muncul. Ia menyatakan bahwa Remedy berusaha menyentuh titik tersebut dengan FBC: Firebreak.
Menghormati Waktu dan Uang Pemain
Respek terhadap waktu dan uang pemain menjadi prioritas utama dalam pengembangan Firebreak. Remedy mengusung model all-in-one dengan membayar sekali untuk mendapatkan semua fitur dengan harga $40. Mereka menolak model free-to-play sebagai bentuk usaha untuk mengurangi FOMO yang mulai meracuni banyak game masa kini.
Kesimpulan: Menatap Masa Depan Game dengan Bijak
Firebreak diharapkan dapat menarik perhatian penggemar karya aneh khas Remedy dan penggemar game co-op shooter sekaligus ketika diluncurkan pada 17 Juni. Menjadi bijak dalam mengelola waktu dan uang pemain menjadi fokus utama pengembangan game modern.
Dengan berbagai inovasi dan pendekatan yang memberikan pengalaman bermain yang lebih terjangkau dan menghargai pemain, Firebreak menjadi salah satu contoh bagaimana industri game bisa bergerak ke arah yang lebih berkelanjutan. Sumber inspirasi: IGN.
powered by jamterbang.com